Perjanjian-Perjanjian Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance)


Pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen di Indonesia, pada dasarnya tidak hanya dibuat satu macam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga dibuat berbagai jenis perjanjian lainnya. Perjanjian pokoknya adalah perjanjian pembiayaan. Perjanjian pembiayaan merupakan perjanjian yang dibuat antara kreditor/pemberi fasilitas dengan nasabah/penerima fasilitas untuk membiayai dalam pembelian kendaraan bermotor. Dan perjanjian pembiayaan ini, lahirlah perjanjian tambahan atau accesoir lainnya. Masing-masing lembaga pembiayaan, mempunyai jenis perjanjian tambahan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.[1]

Perjanjian tambahan yang dibuat tersebut, antara lain:

1.   Perjanjian pemberian jaminan fidusia;

2.   Perjanjian pengalihan kreditor;

3.   Perjanjian pemberian kuasa pembebanan jaminan fidusia.

Perjanjian pemberian jaminan fidusia merupakan perjanjian yang dibuat antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia, di mana pemberi fidusia menyerahkan jaminan berdasarkan kepercayaan kepada penerima fidusia, untuk jaminan suatu utang. Pemberi fidusia ini adalah konsumen sebagai penerima fasilitas dari perusahaan pembiayaan, sedangkan penerima fidusia adalah pemberi fasilitas, yaitu perusahaan pembiayaan.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang dimaksud dengan pengertian Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Beberapa ciri yang tampak dalam perumusan tersebut sebagaimana dikemukakan J. Satrio, antara lain: pengalihan hak kepemilikan suatu benda; atas dasar kepercayaan; dan benda itu tetap dalam penguasaan pemilik benda.[2]

Pengalihan hak milik adalah hak milik atas benda yang diberikan sebagai jaminan, dialihkan oleh pemiliknya kepada kreditur penerima jaminan, sehingga selanjutnya hak milik atas benda jaminan ada pada kreditur penerima jaminan.

Pengertian atas dasar kepercayaan, tidak ada penjelasan resmi dalam Undang-Undang Fidusia. Kata “kepercayaan” mempunyai arti bahwa pemberi jaminan percaya, bahwa penyerahan ”hak miliknya” tidak dimaksudkan untuk benar-benar menjadikan kreditur pemilik atas benda yang diserahkan kepadanya dan bahwa nantinya kalau kewajiban perikatan pokok, untuk mana diberikan jaminan fidusia dilunasi, maka benda jaminan akan kembali menjadi milik pemberi jaminan.

Benda tetap dalam penguasaan pemilik benda, maksudnya adalah bahwa penyerahan itu dilaksanakan secara contitutum possesorium, yang artinya penyerahan “hak milik” dilakukan dengan janji, bahwa bendanya sendiri secara physic tetap dikuasai oleh pemberi jaminan. Jadi kata-kata “dalam penguasaan” diartikan tetap dipegang oleh pemberi jaminan.[3]

Menurut V. Oven sebagaimana dikutip J. Satrio, yang diserahkan adalah hak yuridisnya atas benda tersebut. Dengan demikian hak pemanfaatan (hak untuk memanfaatkan benda jaminan) tetap ada pada pemberi jaminan. Dalam hal demikian maka hak milik yuridisnya ada pada kreditur penerima fidusia, sedang hak sosial ekonominya ada pada pemberi fidusia.[4]

Menurut Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, dalam jaminan Fidusia pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata-mata sebagai jaminan bagi pelunasan hutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia. Hal ini dikuatkan lagi dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji akan batal demi hukum.

Objek Jaminan Fidusia (benda) telah diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia, benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut adalah sebagai berikut:[5]

1.      benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;

2.      dapat atas benda berwujud;

3.      dapat juga atas benda tidak berwujud termasuk piutang;

4.      benda bergerak;

5.      benda tidak bergerak yang tidak dapat dengan hak tanggungan;

6.      benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik;

7.      baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri;

8.      dapat atas satu satuan atau jenis benda;

9.      dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda;

10.  termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia;

11.  termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

12.  benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia;

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang dimaksud prestasi di sini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.

Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia diatur pada Pasal 5 yang berbunyi:[6]

(1)   Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia;

(2)   Terhadap pembuatan Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Akta Jaminan Fidusia haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: [7]

(1)   haruslah berupa akta notaris;

(2)   haruslah dibuat dalam bahasa Indonesia;

(3)   harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:

a.       Identitas pihak pemberi fidusia:

Nama lengkap, agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat lahir tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan;

b.      Identitas pihak penerima fidusia, yakni tentang dana seperti tersebut di atas;

c.       Haruslah dicantumkan hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia;

d.      Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia;

e.       Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti kepemilikan. Jika benda selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan (inventory) haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut.

f.       Berapa nilai penjaminannya;

g.      Berapa nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

Mengacu Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa Akta Notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para pengganti haknya. Jadi, bentuk akta otentik dapat dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan objek jaminan fidusia.

Menurut Munir Fuady, jika ada alat bukti Sertipikat Jaminan Fidusia dan sertipikat tersebut adalah sah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan adanya fidusia dengan hanya menunjukkan Akta Jaminan yang dibuat Notaris. Sebab menurut Pasal 14 ayat (3) UndangUndang Fidusia No.42 Tahun 1999, maka dengan akta jaminan fidusia, lembaga fidusia dianggap belum lahir. Lahirnya fidusia tersebut adalah pada saat didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia.[8]

Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagai berikut:

(1)   Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan;

(2)   Dalam hal benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.

Pendaftaran jaminan fidusia itu, berdasarkan Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Jika kantor fidusia di tingkat II (kabupaten/kota) belum ada maka didaftarkan Kantor Pendaftaran Fidusia di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di tingkat Propinsi.

Pihak yang berhak mengajukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia adalah penerima fidusia, kuasa ataupun wakilnya, dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang memuat:

a.       Identitas pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia;

b.      Tanggal nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia;

c.       Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;

d.      Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia;

e.       Nilai penjaminan dan;

f.       Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Tanggal pencatatan Jaminan Fidusia pada Buku daftar Fidusia adalah dianggap sebagai tanggal lahirnya jaminan Fidusia. Pada hari itu juga Kantor Pendaftaran Fidusia di Kanwil Kehakiman di Tingkat Provinsi (jika Kantor Fidusia di tingkat kabupaten/kota belum ada) mengeluarkan/menyerahkan Sertipikat Jaminan Fidusia kepada pemohon atau Penerima Fidusia.

Dalam sertipikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertipikat tersebut mempunyai eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya adalah sertipikat Jaminan Fidusia ini dapat langsung dieksekusi tanpa melalui proses persidangan dan pemeriksaan melalui Pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.[9]

Dalam hal terdapat kekeliruan penulisan dalam sertipikat Jaminan Fidusia yang telah diterima oleh pemohon, maka dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya sertipikat tersebut, pemohon wajib memberitahukan kepada kantor untuk diterbitkan sertipikat perbaikan. Penerbitan sertipikat perbaikan tersebut tidak dikenakan biaya.[10]

Pendaftaran jaminan fidusia ini sesuai dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Repubik Indonesia Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 2001 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia di seluruh kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, maka diberitahukan bahwa Kantor Pendaftaran Fidusia di setiap ibukota propinsi di seluruh Indonesia telah dibentuk di Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Azas Manusia Republik Indonesia dan berlaku efektif operasional sejak tanggal 1 April 2001, sehingga kantor Pendaftaran Fidusia di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tidak boleh menerima lagi pendaftaran Jaminan Fidusia. Jadi, pendaftaran jaminan fidusia tidak lagi ke pusat tetapi sudah dapat dilaksanakan di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI daerah masing-masing.

Persetujuan pengalihan kreditur maksudnya adalah pengalihan hak perusahaan pembiayaan tersebut kepada kreditur lain. Dengan dilakukan pengalihan kreditur ini, maka debitur yang telah mendapat pembiayaan dari  perusahaan pembiayaan (kreditur) untuk pembelian kendaraan bermotor berdasarkan Perjanjian Pembiayaan Konsumen, harus memenuhi kewajiban kepada kreditur yang menerima peralihan.

Perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian yang dibuat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, di mana penerima kuasa diberi kewenangan untuk membuat dan menandatangani surat tanda penerimaan surat kendaraan atau dokumen-dokumen lainnya. Pemberi kuasanya adalah penerima fasilitas/debitur, sedangkan penerima kuasanya adalah lembaga pembiayaan.

Menurut Pasal 1792 KUHPerdata, memberikan batasan, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, ”untuk atas namanya”, menyelesaikan suatu pekerjaan.

Definisi di atas memberi pengertian bahwa perjanjian pemberi kuasa adalah merupakan perjanjian sepihak. Kemudian makna kata-kata ”untuk atas namanya” berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan (Pasal 1807 KUHPerdata).[11]

Pasal 1793 KUHPerdata menentukan bahwa suatu surat kuasa, dapat dibuat antara lain, dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Dalam hal tertentu, pihak-pihak dalam perjanjian pemberian kuasa, terikat pada syarat-syarat formil, surat kuasa yang harus otentik. Kemudian, dalam Pasal 1803 ayat (2) KUHPerdata, disebutkan suatu surat kuasa dapat dilimpahkan (substitusi) oleh penerima kuasa kepada orang lain (pihak ketiga). Pada umumnya surat kuasa selalu diberikan dengan klausul, ”surat kuasa ini diberi hak substitusi”. Jika penerima kuasa tidak diberi wewenang untuk itu, tapi kemudian ia melimpahkannya kepada orang lain maka pelimpahan itu tidak sah. Kecuali untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa.

Perusahaan pembiayaan dengan adanya surat kuasa berhak: untuk membuat dan menandatangani Akta Jaminan Fidusia berikut penambahan dan/ atau perubahannya menurut syarat-syarat dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berikut peraturan pelaksanaannya yang telah dan/atau akan ada di kemudian hari, guna menjamin dan menanggung pembayaran dengan baik segala sesuatu yang terhutang dan harus dibayar oleh Pemberi Kuasa/selaku Debitur.

Dalam surat kuasa tersebut disebutkan, bahwa selama hutang Debitur belum dibayar lunas kepada Penerima Kuasa, Kuasa ini tidak akan berakhir oleh karena sebab-sebab apapun juga termasuk tetapi tidak terbatas oleh sebab-sebab yang tencantum dalam Pasal 1813, 1814 dan 1816 KUHPerdata Indonesia. Pasal 1813: Pemberian kuasa berakhir: dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;  dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa; dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. Pasal 1814: Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya, dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu. Pasal 1816: Penarikan kuasa yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa, tidak dapat diajukan kepada pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa karena tidak mengetahui penarikan kuasa itu; hal ini tidak mengurangi tuntutan hukum dari pemberi kuasa terhadap penerima kuasa.

Baca juga:

Dasar Hukum Perjanjian Pembiayaan Konsumen di Indonesia

Ketentuan Eksekusi Jaminan Fidusia Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi

[1] Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Buku Dua, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 135.
[2] J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 159.
[3] Ibid., hal. 160.
[4] Ibid., hal. 160.
[5] Munir Fuady, Jaminan Fidusia, PT. Aditya Baktii, Bandung, 2003, hal. 22-23
[6] Ibid., hal. 20.
[7] Ibid., ,hal. 21..
[8] Ibid., hal. 34.
[9] Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 142.
[10] Pasal 5 PP Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
[11] Djaja S. Meliala, Penuntut Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hal. 7.